Jumat, 21 Februari 2014 4 komentar

Impian



Mimpi. Apakah kalian tahu apa itu mimpi? bunga tidur. Pasti itu yang terlintas dalam pikiran kalian. Tapi, bukan itu mimpi yang kumaksud. Mimpi atau sering disebut impian. Kalian tahu bukan apa itu impian? impian adalah sesuatu yang teramat ingin kita capai. Apakah kalian mempunyai sesuatu yang teramat ingin dicapai? pasti punya, bukan? begitupun denganku.
Aku, keisya. Impian terbesarku adalah menjadi seorang pelukis yang karyanya dihargai dan bisa membuat orang-orang tersenyum puas saat melihatnya. Aku juga ingin, sangat ingin membuat pameran lukisanku sendiri. Membayangkan betapa bangganya kedua orangtuaku nanti sungguh membuatku tak sabar ingin mewujudkan mimpi itu. aku mendesah pelan, memejamkan kedua mataku, membisikan harapan agar impianku terwujud kepada tuhan. Kubuka mataku kembali lalu menatap ke arah langit biru yang tersenyum cerah seakan-akan menyemangatiku.
“keisya,” kutolehkan kepalaku ke arah samping, kudapati seorang gadis cantik duduk di sampingku entah sejak kapan. Gadis yang sedang tersenyum manis menampakan eyes smile yang dimilikinya. “fadhia? sejak kapan kamu disini?” tanyaku dengan kening berkerut. Dia masih tersenyum.
“kira-kira 3 menit lebih 45 detik yang lalu,” jawabnya yang kuyakin asal. Ayolah, dia tak mungkin serajin itu menghitung menit juga detiknya.
“aku serius!” diletakannya jari telunjuk dan tengah di samping kepalanya membentuk huruf v. kugelengkan kepalaku melihat kelakuan sahabatku yang agak aneh ini. Kembali aku sibuk dengan kegiatan awalku, menikmati semilir angin yang berhembus nyaman di depan kelasku.
“kekuatan dari sebuah impian, kamu percaya itu kan, dhi?” senyap. Tak ada jawaban dari sahabat teranehku ini. Kumelirik sekilas ke arahnya. bingung. Kesan pertama yang kudapati diwajahnya. Sungguh, wajah bingungnya sangat konyol!
“hmm. Masih bermimpi menjadi pelukis?”
“hey! bukan bermimpi tapi impian!” aku menjitak pelan kepalanya membuat dia meringis dan menampakan mimik tak suka kepadaku.
“hey jangan pukul kepalaku! sakit tahu! lagi pula itu kan sama saja?”
“beda tahu! bermimpi itu hanya disaat kau tak sadar dan tak tahu apa yang sedang kau lakukan sedangkan impian itu adalah sesuatu yang teramat ingin kau capai,”
“ya biasa aja kali gak usah pake jitak-jitak,” aku hanya tersenyum malu seraya menunjukan deretan gigi rapiku kepadanya.
“memangnya kamu benar-benar ingin menjadi pelukis, sya? aslinya? seriusan?”
“fadhia sayang, fadhia cantik, fadhia imut sudah berapa kali aku bilang jika aku ingin menjadi seorang pelukis dan aku benar-benar serius,”
“iya sih, tapi, sya-” kulihat ada keraguan di wajah sahabat cantikku ini. Kudorong pelan jidatnya membuat dia meringis dan menatap tajam ke arahku lagi.
“kegagalan bukan akhir dari segalanyakan, dhi? proses menjadi sesuatu yang berharga itu tak semudah menyiram wajahmu dengan jus jeruk kan, dhi? aku hanya ingin mencoba menjadi sesuatu yang lebih indah lagi, dhi,” kusandarkan kepalaku di atas bahunya yang lebih tinggi dariku.
“hmm. Try to be something if you’re nothing. Try to be somebody if you’re nobody. But don’t try to be someone else-“
“just be yourself, iya kan?” aku tersenyum manis seraya memeluk pinggangnya erat.
“ayo kita wujudkuan impianmu bersama-sama dengan kekuatan impian yang kamu punya!” serunya semangat membuat aku terkekeh geli mendengarnya.
“hmm. Juga dengan kekuatan persahabat kita!” lanjutku pelan yang disetujui olehnya.
“jangan buat kekuatan itu terkikis hanya karena kegagalan, sya,” bisiknya pelan, aku mengangguk.
“jangan buat kekuatan persahabatan kita terkikis dengan pengkhianatan, dhi,” decakan pelan terdengar saat aku menirukan gayanya barusan.
“yang paling penting jangan pernah menyerah dan putus asa!” kukecup pipinya singkat lalu berlari setelah menjulurkan lidah ke arah gadis bertubuh ramping itu. aku sangat tahu jika dia paling tak suka dikecup. Kalian dengarkan teriakannya yang menggelegar itu? teriakan khasnya, fadhia. Sahabatku tercinta yang kini tengah berlari mengejarku. Aku tertawa puas tanpa menghentikan langkah kaki ini. Fadhia, mari kita wujudkan impianku bersama-sama dengan kekuatan impianku juga kekuatan persahabatan kita setelah itu mari kita cari impianmu, ahya, alasan kenapa dia menjadi sahabat teranehku karena dia tak punya impian. Dan itu sangat aneh.
Kita hadapi semuanya bersama, dhi!

Cerpen Karangan : Qisthi Zulfa
Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-persahabatan/impian.html


Kesimpulan
Raihlah impianmu dengan sungguh-sungguh, jangan pernah menyerah dan putus asa, karena kegagalan bukan akhir dari segalanya :) .
Senin, 03 Februari 2014 0 komentar

Karena di Atas Langit Masih Ada Langit

Ada hal menarik yang selalu membuatku penasaran dengan dia, Suci namanya. Dia teman sekelasku saat aku duduk di bangku kelas V di SD Negeri 1 Tanjung. Dia begitu sederhana dan tak jarang aku melihat dia berdiam di kelas dan memilih membaca buku daripada jajan di kantin bersama temam-temannya.
“Mungkin dia gak bawa sangu?”, tanyaku dalam hati.
“Ya, bisa jadi”, celetukku kemudian karena setelah itu dia mengeluarkan sekantong plastik yang ternyata itu adalah sekotak nasi lengkap dengan lauknya.
“Ups, Tapi kayanya pendapatku salah, soalnya dia barusan menyisihkan uangnya ke kotak amal”.
Pernah suatu hari, aku bertemu dengannya di taman kota dan dia yang kukira pendiam justru menyapaku dengan riang, “Assalamu’alaikum, Tina. Apa kabar?”
“Wa’alaikumussalam, Suci. Alhamdulillah baik, kamu?”, jawabku dan diapun segera menghampiri dan menyalamiku.
Setelah kutanya apa yang sedang dia lakukan, dia pun menjawab kalau dia sedang membantu saudaranya.
“Saudaranya?” pikirku penasaran sebab yang kulihat hanya ada beberapa anak jalanan yang sedang berlatih membaca ataupun berhitung.
Tiba-tiba, seorang anak seusiaku menghampiri kami seraya menyodorkan secarik kertas pada Suci. Dan tak lama kemudian, Suci pun mengacungkan jempol sembari berkata, “Alhamdulillah, nilai seratus buat kamu. Makin semangat ya belajarnya, aku bangga sama kamu”.
Ternyata, yang ia maksud saudara yaitu mereka yang punya tekad kuat untuk belajar, namun tidak bisa mengenyam bangku sekolahan.
“Astaghfirullahal’adzim, aku jadi malu pada mereka”.
Hampir setiap tindakan temanku itu membuatku bengong keheranan, apalagi tadi pagi ketika dia maju ke depan kelas dan mengumumkan kepada kami, “Bagi yang berkenan menyumbangkan pakaian dan buku, baik baru ataupun bekas. Silahkan menghubungi aku ya. Terimakasih”.
Keesokan harinya banyak teman-teman yang turut menyumbang, termasuk dia. Ia pun tak lupa mengucapkan terimakasih dan mendoakan kebaikkan untuk kami lagi. karena masih penasaran atas apa yang ia lakukan, maka aku pun ikut serta membawakan pakaian-pakaian yang telah kami masukan dalam kardus untuk disumbangkan sesuai rencana.
Aku sesekali mengeluh kecapaian, ditambah lagi kakiku terasa pegal-pegal karena sudah sejam perjalanan. Namun, kami belum sampai di tempat tujuan.
“Ya, udah kalau gitu kita istirahat lagi ya?”, ucapnya seraya melemparkan senyum padaku.
“Subhanallah, dia begitu sabar, bahkan raut kesal akan keluh kesahku pun tak pernah tampak. Aku salut sama dia”, gumamku dalam hati sehingga aku mencoba tetap semangat dan semangat lagi seperti dia.
Tak jauh dari pemberhentian kami yang terakhir, dia berkata, “Alhamdulillah, sampai juga”.
“Alhamdulillah”, sahutku sembari menghela nafas panjang.
Deg, aku terkejut dibuatnya ketika ia mengetuk pintu sebuah gubug tua yang menurutku tak layak untuk dihuni. “Apa dia tinggal disini?”.
Belum sempat terjawab rasa penasaranku, tiba-tiba pintu terbuka, “kretek, kretek” terdengar begitu. Lalu, keluarlah beberapa anak kecil menyambut kedatangan kami.
Tampak jelas rona bahagia di wajah mereka, terlebih ketika mereka membuka kardus bawaan kami.
“Makasih ya kakak”, ucap mereka berbarengan kepada Suci.
“Iya, sama-sama, De. Ucapin juga ke teman kakak ini, namanya kak Tina” Balasnya seraya melirik ke arahku.
“Terima kasih, kak Tina”, seru mereka.
Tak sampai disitu, karena sebelum melaksanakan sholat berjamaah, Suci pun mengulungkan buku-buku dan seperangkat alat sholat baru untuk mereka.
“Ya, Allah. Ternyata dia baik banget”, ucapku lirih.
Pukul 16.00 WIB..
Sedih rasanya beranjak dari tempat itu, namun aku juga tak ingin membuat orangtuaku khawatir karena belum pulang sehingga kami segera berpamitan dan menuju halte.
Kupikir kita akan pulang menggunakan angkutan umum, tapi satu, dua hingga empat atau lima bis ia biarkan lewat, padahal hari sudah mulai sore. “Sebenernya apa yang ia tunggu?” pikirku.
“Cit..”, sebuah mobil mewah berhenti di depan kami dan “Ayo”, ajaknya usai membuka pintu mobil yang entah milik siapa itu.
Sambil melihat-lihat isi mobil yang dipenuhi dengan buku-buku, aku kembali dibuatnya terkejut ketika sang sopir berkata, “Nak, Suci. Tadi ibu pesen agar kita mampir ke toko ibu dulu ya?”. Sedangkan Suci hanya mengangguk, lalu mengajakku mengobrol tentang pelajaran di sekolah.
Kami berhenti di depan toko atau lebih tepatnya restoran dan ia lekas memesankan hidangan untuk kami, begitu juga untuk sopir mobil tadi.
Beberapa saat kemudian, seorang ibu menghampiri seraya mengecup kening Suci. Suci pun langsung memperkenalkanku pada ibu itu dan ternyata, “Waw, ibu pemilik restauran itu adalah ibunya. Aku benar-benar tak menyangka. Meski Suci serba punya, namun ia selalu tampil sederhana dan tidak menyombongkan diri”.
Dan aku memberanikan diri untuk bertanya pada dia saat kami melanjutkan perjalanan pulang dan jawab dia, “Untuk apa menyombongkan diri, di atas langitkan ada langit, ya kan? Apalagi semua ini juga titipan-Nya semata”.
“Subhanallah”.

Cerpen Karangan: Adinta Asfiratun Husna
Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/karena-di-atas-langit-masih-ada-langit.html
0 komentar

Kesederhanaan Sebuah Cita-Cita

Sore yang indah, ditemani oleh bunyi ombak dan semilir angin yang kian beriringan dengan suara daun kelapa yang tak mau berhenti untuk melambai. Suasana tenang disini setidaknya dapat mengurangi rasa penatku. Kudengar decitan kursi roda yang makin lama kian mendakatiku. Kulihat sosok yang memang akhir-akhir ini sering bersamaku di tempat ini. Aku sangat bingung jika melihat ekspresi wajahnya terkadang dia terlihat sangat tenang dan terkadang dia terlihat datar.
“Apa hari ini kau baik-baik saja?” tanyaku padanya karena memang dia adalah sosok yang sangat sulit ditebak, bukannya jawaban yang kudapat tapi hanya senyum kecil yang mengembang di bibirnya. Aku semakin bingung dengan semua tingkahnya, sangat aneh bagiku karena memang dia sosok yang pendiam tak banyak kata yang dia lontarkan untukku.
“Disini sangat tenang, aku menyukainya” ucapku menceracau sendiri, inilah kebiasaanku setiap bertemu dengannya meskipun tak ada satupun respon darinya tapi aku tahu bahwa dia mendengarkanku dan mengerti apa yang ku mau.
“Hari ini sama seperti hari-hariku sebelumnya, tak ada yang istimewa ataupun terkesan semuanya sama dan kau tau bukan hariku selalu berakhir disini bersama senja, berakhir dengan gambar-gambar yang hanya bisa menemani sesaat” ucapku padanya, dia menoleh dan tersenyum padaku.
“Mengapa kau selalu berkata bahwa hari ini selalu sama seperti hari kemarin?” ujarnya lembut tapi terkesan sangat dingin.
“ya, karena menurutku semuanya sama, tak ada apapun yang berkesan” jawabku tanpa menatapnya.
“Itu semua karena ulahmu sendiri yang tak pernah mau tau kan indahnya kehidupan” Ujarnya seraya menatapku. Entah angin dari mana yang telah membawanya untuk bercakap denganku, biasanya hanya aku yang berbicara sendiri.
“Aku?” tanyaku seraya membenarkan posisi dudukku untuk menghadapnya. Jujur aku paling tak suka disalahkan atas kekejaman dunia karena menurutku tak ada yang salah pada diriku hanya saja dunia ini yang terlalu kejam untuk kupijaki.
“ya, dirimu sendiri” ucapnya menatapku, aku mendongakkan kepalaku dan mengernyitkan dahi atas pernyataannya.
“Apa yang salah denganku? Aku hanya ingin hidup bahagia di dunia yang kejam ini tapi nyatanya semua sama saja kan? Tak ada yang indah” ucapku sedikit emosi karena bisa-bisanya dia menyalahkanku.
“Gracia, sekarang coba kamu fikir apa yang telah kamu perbuat atas kehidupan kamu? Apa kamu merasa bahagia dengan itu semua?” tanyanya lagi dan semakin manatapku intens. Sepertinya dia benar-benar lelah mendengarkan ucapan yang sama selalu terlontar dari bibirku.
“ya, karena menurutku itu yang terbaik Rey” suaraku sedikit meninggi kali ini karena memang telingaku semakin panas karena perkataannya.
“Berarti, kau belum mengenali dirimu sendiri” ujarnya santai seraya melempar pandang pada laut lepas yang meyajikan pertunjukan yang sangat sayang untuk dilewatkan.
“Mengenali diri sendiri? Bukankah kita hidup untuk mnegenali orang lain?” tanyaku semakin menjadi.
“Seharusnya..” dia menghela nafas sebelum melanjutkan perkataannya,
“Seharusnya apa?” ucapku penasaran dengan apa yang akan dikatakannya
“Seharusnya, sebelum kau ingin tahu siapa orang lain, kau harus bisa mengenali siapa dirimu? Sehingga kau dengan mudah menyesuaikan dengan siapa kau harus tahu? Apa yang bisa membuatmu bahagia? Keinginan apa yang benar-benar ingin kamu miliki?” ucapnya dengan tatapan datar dan tetap lurus menghadap ombak. “Apa kau memiliki cita-cita?” tanyanya kemudian.
“Ada, bukankah kita hidup untuk mencapai cita-cita? Dan itu yang bisa buat kita bangga bukan?” tanyaku penuh selidik.
“Apa yang kau ketahui tentang cita-cita?” tanyanya lagi. Entah, sekarang aku tak merasa emosi ketika dia berbicara jika difikir benar juga, dunia akan kejam jika kita tak pandai menyesuaikannya.
“Cita-cita? Itu sebuah harapan yang menujukan dirinya untuk menjadi seseorang yang dia ingini” jawabku menatapnya. “Seperti?” tanyanya lagi
“Seperti menjadi guru, dokter, author, fotographer, ya pokoknya yang berhubungan dengan profesi” ujarku santai.
“Kurang tepat” ucapnya seraya melempar pandangan dan senyum kepadaku.
“Salah lagi? Kenapa ucapanku tak ada satupun yang benar di telingamu” ucapku sebal.
“aku kan tidak mengatakan bahwa kau salah, tapi aku berkata kau kurang tepat Gracia” ujarnya seraya mencubit pipiku dengan gemas.
“Sama saja Rey” ujarku. “Ikut aku” ucapnya mengajakku untuk ke suatu tempat.
“Nanti saja aku masih ingin mengabadikan senja disini” ucapku dengan nada memohon.
“Tidak, sudah cukup kau mengabadikannya sejak minggu kemarin, apa kau tak kasian melihat kameramu yang jengah karena kau selalu menyuruhnya untuk mnegabadikan senja” ujarnya seraya menarik pergelangan tanganku untuk mendorong kursi rodanya.
“ok” ucapku pasrah. Entah akan dibawanya kemana diriku ini, aku hanya mengikuti instruksinya saat berjalan, memang selama perjalanan tak ada obralan penting hanya saja cuap-cuap yang menunjukkan jalan untuk ke tempat yang akan dia tunjukkan padaku.
“Sampai” ujarnya. Rumah yang tak terlalu mewah tapi berukuran cukup besar yang telah ada di hadapanku sekarang. Jujur, aku sangat bingung banyak sekali orang yang menghuni tempat ini. Tapi disini ada yang berbeda, Ya.. hampir semua orang yang tinggal disini adalah mereka-mereka yang tidak seberuntung diriku.
“Mereka siapa mengapa banyak sekali yang menghuni tempat ini?” Tanyaku seraya menjajari posisinya yang tengah ada di kursi roda miliknya.
“ayo, akan kutunjukkan kau betapa banyak cita-cita yang ada disini bukan hanya sekedar profesi belaka” ucapnya seraya menjalankan kursi rodanya. Aku segera bangkit dan menyusulnya, tak jarang dia disapa oleh penghuni disini. Sungguh, aku tak kuasa berada di tempat ini. Hidup dengan banyak kekurangan tapi mereka masih bisa bertahan hanya itu yang sedari tadi mengelilingi otakku.
Di sepanjang perjalananku mengelilingi rumah ini, Rey banyak bercerita tentang Rista yang tunanetra tapi dia berusaha untuk mengahafal semua yang pernah dia lewati. Arga yang lumpuh tapi, sepertinya dia tak ingin hanya berdiam diri sehingga dia belajar untuk berjalan agar dia kembali normal dan banyak hal-hal yang meurutku sepele tapi menjadi cita-cita banyak orang disini.
“Aku tinggal dulu ya? Kau boleh melihat-lihat sekitar sini, bertemanlah bersama mereka, kau akan tahu nanti siapa dirimu” ujarnya sebelum benar-benar pergi.
Setelah lama merasa bosan duduk termenung sendiri tanpa teman, aku memutuskan untuk melihat-lihat aktivitas mereka, mulai dari bermain, bercanda bahkan menyalurkan hobi. Meskipun mereka banyak kekurangan tapi mereka tak pernah lelah untuk berusaha. Hingga akhirnya pandanganku menangkap sosok gadis kecil dengan kanvas dan kuas di hadapannya. Perlahan aku mendekatinya dan ingin tahu lebih jauh siapa sosok gadis kecil misterius ini.
“Hai, boleh kaka duduk disini” tanyaku sembari menunjuk bangku kosong di sebelahnya. dia hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Lagi apa?” tanyaku lagi untuk mencoba akrab dengannya.
“Lagi ngelukis kak” ucanya lembut. “Nama kamu siapa?” tanyaku lagi, karena memang entah kenapa aku ingin mengenalinya lebih jauh. “Rere” jawabnya singkat tapi cukup untukku. “Rere lagi ngelukis apa?” tanyaku lebih banyak.
“Cita-cita Rere” dahiku semakin mngernyit saat menatap kanvas yang ada di hadapannya. Karena disana hanya ada torehan sebuah gambar taman dengan anak-anak kecil yang bermain tapi, mengapa itu bisa menjadi cita-citanya? Aneh, cuma itu sekarang yang aku tahu tentang dia.
“Cita-cita? Boleh kakak tahu kenapa Rere punya cita-cita itu? Itu sangat sederhana sayang, kita tinggal pergi ke taman dan bermain-main dengan mereka” ucapku menjelaskan. Dia menatapku sambil tersenyum.
“Bagi orang normal seperti kaka itu memang biasa, tapi bagiku itu hal yag sangat membahagiakan, berlari sepuas mereka, bermain semau mereka, sebenarnya bahagia itu sederhana yang penting kita bisa melakukan hal yang kita suka dengan sendirinya kita akan merasa bahagia atas itu semua” diam, hanya itu yang dapat kulakukan sekarang bagaimana bisa gadis sekecil dia bisa mengerti kehidupan sedangkan aku hanya bisa menyalahkan dunia.
“kamu bisa kok seperti mereka, toh kamu baik-baik saja kan?” tanyaku selanjutnya
“Aku menderita leukimia kak, terkadang jika aku merasa sedikit lelah kaki dan tanganku tiba-tiba akan lumpuh meskipun hanya sementara tapi, itu bisa jadi untuk selmanya aku tak akan bisa melakukan hal-hal yang bisa kulakukan sekarang” ujarnya lagi.
Seketika aku diam dan tak berani mengatakan apapun. Gadis kecil seperti dia harus menanggung beban hidup yang cukup berat? tapi, mengapa dia mampu bertahan? Sedangkan aku? Normal, tapi tak mampu menahan semua beban hidup. Cita-citanya sangat sederhana akan tetapi karena cita-citanya itulah yang membuat mereka mampu bertahan hingga saat ini. Dan baru kali ini aku sadar bahwa cita-cita bukan hanyalah sekedar profesi belaka yang ingin dijalani kelak, tapi bisa jadi cita-cita adalah sebuah harapan tentang kehidupan atau kegiatan yang ingin kita lakukan untuk kemudian hari. Tak seharusnya aku menyamakan hari ini dengan hari kemarin karena yang seharusnya aku lakukan adalah menjadikan hari kemarin sebagai pembelajaran, menjalani hari ini, dan berfikir untuk menjalani hari esok agar semua cita-cita dapat dicapai sesuai dengan keinginan.

Cerpen Karangan : Diana Margareta
sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-kehidupan/kesederhanaan-sebuah-cita-cita.html
 
;